Gunungkidul (DIY), INANEWS.id - Nama Yogyakarta selama ini lekat dengan julukan “Kota Pendidikan”. Deretan perguruan tinggi ternama berdiri megah di berbagai sudut kota, menjadi magnet bagi ribuan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Namun, di balik citra akademik yang bersinar, tersimpan fakta yang mencemaskan: semakin sedikit anak muda asli Yogyakarta yang mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Fenomena ini diungkap Ketua Bapemperda DPRD Gunungkidul, Ery Agustin S, S.E., M.M, dalam sebuah forum publik baru-baru ini. Ia menyebut bahwa kondisi pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya di wilayah Gunungkidul, kini berada pada titik rawan.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/menggugah-ruh-jawa-merti-dusun-di.html
“Banyak anak muda di DIY, terutama yang baru lulus sekolah menengah, tidak melanjutkan kuliah. Salah satu penyebab utamanya adalah kemiskinan,” ujar Ery.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutipnya memperkuat pernyataan tersebut. Sebanyak 22,27 persen warga DIY hanya menamatkan pendidikan hingga tingkat SD, 39 persen berhenti di jenjang sekolah menengah, dan sisanya bahkan putus sekolah di tengah jalan. Angka partisipasi kuliah warga asli DIY hanya berkisar 15 persen, jauh dari ekspektasi sebagai daerah berlabel kota pendidikan.
Ery mempertanyakan apakah rendahnya angka kuliah ini disebabkan oleh rendahnya minat, atau karena kondisi ekonomi yang memaksa anak muda mundur dari dunia pendidikan.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/gunungkidul-miliki-taman-lansia.html
Pemerintah DIY sebenarnya memiliki Program Kuliah Istimewa yang dijalankan oleh Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) DIY untuk membantu mahasiswa kurang mampu. Namun menurut Ery, kebijakan itu masih belum menjawab kebutuhan di lapangan secara utuh.
“Kuotanya terbatas, hanya untuk jenjang D4, dan hanya di beberapa kampus tertentu. Kenapa tidak bisa lebih luas? Harusnya bisa mencakup S1 dan semua kampus di DIY,” kritiknya.
Ery menilai program yang sempit ini justru bisa memaksa anak muda kuliah di tempat yang bukan menjadi pilihannya, hanya karena keterbatasan akses beasiswa. Ia menekankan pentingnya memberikan ruang pilihan bagi mahasiswa, agar mereka kuliah karena keinginan dan potensi, bukan keterpaksaan.
Lebih jauh, ia juga menyoroti sistem distribusi beasiswa yang dinilai tidak tepat sasaran. Bantuan hanya difokuskan pada wilayah yang dianggap sebagai kantong kemiskinan berdasarkan peta administratif, padahal tidak semua warga miskin tinggal di wilayah tersebut.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/lagi-oknum-asn-gunungkidul-lakukan.html
“Banyak warga miskin tinggal di luar zona itu. Jangan sampai Beasiswa Istimewa justru menyandera warga miskin karena penyalurannya hanya berdasarkan data wilayah, bukan realitas ekonomi,” tegasnya.
Ery menyerukan perlunya keberpihakan dalam regulasi dan kebijakan pendidikan yang benar-benar mengakomodasi kebutuhan masyarakat paling rentan. Ia mengajak pemerintah daerah untuk melakukan litigasi social yakni upaya sistematis dalam menggugat dan menata ulang kebijakan yang tidak adil, termasuk penyesuaian anggaran yang lebih berpihak pada rakyat kecil.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/lelaki-paruh-baya-meninggal-dunia.html
“Kenapa anak-anak Yogyakarta hari ini tidak suka kuliah? Karena apa? Ini harus dijawab dengan serius,” tandasnya.
Menurutnya, jika DIY ingin tetap menyandang gelar Kota Pendidikan secara bermartabat, maka wajah kebijakannya harus inklusif, terukur, dan menyentuh langsung kebutuhan riil masyarakat. Negara, katanya, tidak cukup hadir di ruang kelas kampus-kampus elite, tetapi harus hadir di pelosok-pelosok desa tempat anak-anak muda terpaksa mengubur mimpinya hanya karena tidak mampu membayar ongkos pendaftaran kuliah.
(HAW)
Social Header