Breaking News

Menggugah Ruh Jawa: Merti Dusun di Joholanang Satukan Kembali Budaya dan Dakwah

Di pelataran sendang tua, warga Joholanang menghidupkan kembali tradisi Jawa yang nyaris padam lewat pertunjukan wayang, sholawatan, dan pengajian budaya.

Sleman (DIY), INANEWS.id - Diiringi gamelan yang mengalun perlahan, suasana pelataran sendang tua di Dusun Joholanang, Sindumartani, Sleman, Yogyakarta, berubah syahdu. Lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar di antara ritme gamelan menciptakan harmoni antara spiritualitas dan tradisi. Joholanang tidak sekadar menggelar pertunjukan budaya, tapi sedang membangkitkan kembali ruh kebudayaan Jawa yang perlahan memudar.

Ratusan warga berdatangan dan duduk bersila diatas tikar, menghadap panggung wayang yang berdiri di dekat sumber mata air. Tempat itu diyakini sebagai titik bersejarah penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Namun lebih dari itu, panggung sederhana itu menjadi saksi upaya menyatukan kembali nilai-nilai budaya dan agama dalam harmoni yang pernah menjadi jati diri masyarakat Jawa.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/gunungkidul-miliki-taman-lansia.html

Adalah Min Suratna (50), tokoh masyarakat setempat, yang menggagas kegiatan bertajuk Merti Dusun dan Pengajian Budaya ini. Baginya, pendekatan dakwah kultural yang menggabungkan unsur seni dan religi merupakan jalan yang tepat untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Islam yang ramah dan menyatu dengan budaya lokal.

“Dulu Sunan Kalijaga menyampaikan syariat Islam lewat budaya. Wayang, tembang, gamelan. Jadi orang menerima Islam itu dengan rasa, bukan paksaan,” kata Suratna.

Tradisi merti dusun atau bersih desa dulu menjadi agenda penting masyarakat Jawa sebagai wujud syukur, pemeliharaan lingkungan, dan penjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Namun belasan tahun terakhir, tradisi ini perlahan ditinggalkan. Budaya Jawa makin tergerus modernisasi—anak-anak tak lagi mengenal tembang dolanan, gamelan tak lagi terdengar di langgar-langgar, dan kenduri dianggap usang.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/lagi-oknum-asn-gunungkidul-lakukan.html

“Jawa sudah mulai hilang Jawane,” tutur Suratna.

Ironisnya, Joholanang yang dikelilingi situs-situs sejarah dan candi justru kehilangan denyut budaya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui Merti Dusun, Suratna ingin menanamkan kembali semangat gotong royong, spiritualitas, dan kesenian yang dulunya menjadi nafas masyarakat.

Pentas budaya malam itu juga menyisipkan nilai-nilai keislaman. Wayang dipadukan dengan pengajian dan sholawatan, menjadikannya bukan sekadar hiburan tetapi juga media pendidikan spiritual.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/lelaki-paruh-baya-meninggal-dunia.html

Lokasi yang dipilih bukan sembarang tempat. Sendang tua yang digunakan sebagai pusat kegiatan mengandung nilai simbolik kuat. Dalam tradisi Jawa, sendang adalah simbol kehidupan, kesucian, dan ruang kontemplasi.

“Sendang itu identitas. Banyak penyebaran Islam dimasa lalu juga berawal dari tempat seperti ini,” jelas Suratna.

Malam itu, pentas wayang digelar oleh Ki Dalang Budi Sutowiyoso, dalang asal Yogyakarta yang dikenal mengangkat nilai spiritual dalam setiap lakonnya. Ia membawakan Wahyu Keprabon, kisah tentang wahyu kepemimpinan yang hanya diberikan pada raja yang adil, jujur, dan dekat pada Tuhan.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/disdikpora-diy-minta-masyaraka-lebih.html

“Wayang bukan sekadar seni. Ini alat dakwah yang lembut namun mengena,” ucap Ki Dalang.

Dalam lakon tersebut, pesan moral tentang kepemimpinan yang jujur dan amanah dipadukan dengan nilai-nilai Islam seperti tauhid, keadilan, dan keikhlasan. Masyarakat tidak hanya disuguhi hiburan, tetapi juga diajak merenungi makna hidup dan kepemimpinan sejati.

Menambah kekhusyukan malam itu, hadir pula Ustadz Yusuf Saiful Anwar, pengasuh Majelis Sholawat Macul Langit Yogyakarta. Ia menyampaikan tausiyah ringan namun sarat makna tentang pentingnya sinergi antara budaya dan agama.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/lurah-natah-bersama-komite-mi-yappi.html

Melalui kegiatan ini, warga Joholanang tak hanya membersihkan lingkungan secara fisik, tetapi juga membersihkan batin dan menggali kembali warisan budaya yang nyaris terkubur oleh zaman.

“Budaya bukan penghalang agama. Ia adalah jembatan. Dan malam ini, Joholanang telah menunjukkan bahwa agama dan budaya bisa berjalan beriringan,” Pungkas Yusuf.

(HAW)

© Copyright 2022 - INANEWS