Breaking News

Game Changer Politik Nasional: Dari Spirit 98 ke Aksi 25 Agustus 2025

Daddy Palgunadi – Tan Malaka Institut Jawa Barat

INANEWS.id - Gelombang aksi yang meledak sejak 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR RI, pada mulanya lahir dari tuntutan buruh dan mahasiswa terhadap berbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Namun, percikan api itu berubah menjadi kobaran amarah besar setelah muncul korban jiwa dari kalangan pengemudi ojek online (ojol). Dari titik itulah, aksi yang tadinya berorientasi pada tuntutan konstitusional bergeser menjadi ledakan sosial menghadirkan wajah baru dalam konstelasi politik nasional.

Supremasi Sipil yang Retak

Sejak 1998, reformasi disebut berhasil mengembalikan supremasi sipil melalui penghapusan dwifungsi ABRI, pemisahan Polri dari TNI, dan penguatan parlemen. DPR diproyeksikan menjadi simbol kedaulatan rakyat, sedangkan Polri dipercaya menjaga stabilitas keamanan dengan status mandiri di bawah presiden.

Namun, dua dekade lebih setelah “spirit 98”, justru simbol-simbol supremasi sipil itu kini yang dihancurkan massa sendiri. Gedung DPR di Jakarta, Semarang, Medan, Surabaya, hingga Makassar, menjadi sasaran amuk. Rumah-rumah elit politik seperti Syahroni, Eko Eko, Nafa Urbach, hingga Uya Kuya dibakar. Sementara kantor-kantor kepolisian ikut dirusak, menandai runtuhnya kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjaga hukum dan ketertiban.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/08/nahas-tabrak-lansia-menyeberang.html

Ini adalah ironi terbesar sejak Reformasi: rakyat tidak lagi melihat DPR dan Polri sebagai perwujudan demokrasi, tetapi sebagai lambang penghianatan terhadap aspirasi rakyat.

Dari Spirit 98 ke Spirit 25 Agustus 2025

Jika 1998 menjadi momentum perlawanan terhadap dominasi militer di panggung politik, maka 2025 justru memperlihatkan kebalikannya. Gelombang aksi yang meluas menunjukkan bagaimana rakyat lebih percaya kepada TNI dibandingkan pada DPR dan Polri.

TNI dipandang masih memiliki legitimasi sosial, karena dianggap hadir langsung di tengah masyarakat dan tidak larut dalam praktik oligarki seperti halnya DPR maupun kepolisian. Narasi “TNI dekat dengan rakyat” kembali bergema, mengingatkan pada peran historis militer sebagai penentu arah negara di saat krisis politik.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/08/aksi-anarkis-di-polda-diy-pelajar-ikut.html

Dengan kata lain, aksi 25–30 Agustus 2025 berpotensi menjadi “game changer” politik nasional, karena membuka peluang pergeseran kekuatan dari sipil kembali ke militer, tetapi dengan format baru—bukan dwifungsi ala Orde Baru, melainkan legitimasi spontan yang tumbuh dari kekecewaan rakyat terhadap sipil.

Demokrasi yang Kehilangan Makna

Satu hal yang paling menonjol dari rangkaian aksi ini adalah krisis representasi politik. Rakyat tidak lagi percaya pada partai, DPR, bahkan aparat sipil. Kata-kata pejabat yang meremehkan rakyat bahkan menyebut rakyat “tolol” menjadi bahan bakar kemarahan.

Demokrasi prosedural yang selama ini dibanggakan nyatanya kehilangan legitimasi sosialnya. Kotak suara lima tahun sekali tidak cukup menahan gejolak sosial yang lahir dari ketidakadilan ekonomi, eksploitasi buruh, dan beban hidup yang menghimpit masyarakat kelas bawah.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/08/laka-tunggal-di-jetis-pemotor.html

Dalam titik inilah, aksi 25 Agustus 2025 bukan sekadar demonstrasi, melainkan koreksi brutal terhadap demokrasi prosedural yang gagal.

Masa Depan: Kembali ke Militer atau Mencari Jalan Ketiga?

Pertanyaannya kini: apakah momentum ini akan membawa Indonesia kembali ke dominasi militer, atau justru melahirkan “jalan ketiga” berupa gerakan rakyat otonom di luar negara?

Jika arah politik bergeser ke militer, Indonesia berpotensi kembali ke pola otoritarianisme baru. Tetapi jika rakyat mampu mengorganisasi kemarahan menjadi kekuatan politik alternatif seperti yang pernah dirumuskan Tan Malaka tentang massa aksi maka bukan tidak mungkin lahir babak baru demokrasi rakyat yang lebih radikal dan partisipatif.

Aksi 25 Agustus 2025 menunjukkan bahwa rakyat sudah kehilangan kesabaran terhadap demokrasi elitis. Inilah momentum “game changer”: ketika rakyat mengakhiri kepercayaan pada simbol-simbol sipil, dan mencari wajah baru dari kekuasaan politik.

(WAP)

© Copyright 2022 - INANEWS