Gunungkidul (DIY), INANEWS.id – Konflik lahan yang melibatkan warga Pantai Sanglen, Kalurahan Kemadang, Kapanewon Tanjungsari, Gunungkidul, memanas setelah pihak Keraton Yogyakarta melayangkan surat pengosongan lahan. Dalam surat bernomor 045/KWPK/VII/2025, pihak keraton menyatakan bahwa warga menempati tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat secara tidak sah, dan diminta segera mengosongkan area tersebut paling lambat 28 Juli 2025.
Surat yang ditandatangani oleh KRT Suryo Satriyanto selaku Penghageng II Kawedanan Panitikismo itu menyebutkan bahwa lahan yang dimaksud merupakan Sultan Ground (SG) dengan Sertifikat Hak Milik No. 02051/Kemadang. Jika tidak diindahkan, pihak keraton menyatakan akan mengambil tindakan hukum dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan maupun kehilangan yang terjadi.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/politisi-senior-pdip-kwik-kian-gie.html
Namun di balik surat itu, warga menyebut sumber konflik bukan semata klaim lahan, melainkan bermula sejak masuknya investor bernama Obelic. Menurut warga, sejak kehadiran investor tersebut, kawasan Pantai Sanglen mulai dipagari seng baja, akses pantai ditutup, bahkan paku bumi dipasang dari batas tanah kas desa hingga ke bibir pantai.
“Dulu kami hidup tenang, tidak pernah ada persoalan. Tapi sejak investor masuk, semuanya berubah. Sekarang malah kami yang disuruh pergi,” ujar Setya Wibawa, salah satu warga, saat ditemui di lokasi, Senin (29/07/2025).
Warga yang sebagian besar menggantungkan hidup dari aktivitas wisata dan usaha kecil di sekitar pantai mengaku kian terdesak. Mereka menilai tidak pernah diajak berdialog atau mendapatkan penjelasan terkait masa depan kawasan tersebut.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/indonesia-jadi-negara-paling-mager-di.html
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi tolong, jangan tiba-tiba gusur kami tanpa bicara dulu. Ini bukan sekadar tanah, ini tempat kami hidup, bekerja, dan melanjutkan sejarah,” imbuh Setya.
Menanggapi situasi tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta menyatakan siap memberikan pendampingan hukum dan advokasi. Menurut Rizki Abiyoga, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Agraria WALHI DIY, kasus ini mencerminkan ketimpangan agraria yang makin menguat di wilayah pesisir selatan DIY.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/selain-bsps-stimulan-pemkab-gunungkidul.html
“Kami menilai ini bukan hanya persoalan administrasi, tetapi ketidakadilan struktural. Warga dianggap ilegal padahal mereka sudah mengelola wilayah ini secara turun-temurun,” ujar Rizki.
Rizki menegaskan, kehadiran investor harus dikaji secara terbuka. Tindakan pemasangan pagar seng dan paku bumi yang menutup akses publik dinilai melanggar hak ruang hidup masyarakat.
“Status keistimewaan seharusnya menjadi pelindung warga, bukan alat legitimasi penggusuran atas nama investasi,” tambahnya.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/75-kasus-kecelakaan-lalu-lintas-terjadi.html
WALHI juga mencatat, konflik serupa sebelumnya telah terjadi di sejumlah wilayah pesisir DIY dengan klaim Sultan Ground yang menyingkirkan masyarakat lokal. Mereka mendesak pemerintah daerah, DPRD, dan lembaga terkait untuk segera membuka ruang dialog multi-pihak serta mengevaluasi tata kelola tanah di wilayah keistimewaan.
Jika dibiarkan, WALHI memperingatkan, ketegangan sosial dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan terus tumbuh. Oleh karena itu, reformasi agraria yang adil dan partisipatif dianggap mendesak untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat, petani, dan kelompok rentan di wilayah pesisir.
(HAW)
Social Header