Yogyakarta, INANEWS.id - Penggusuran demi penggusuran terus terjadi Di Provinsi Yogyakarta, Praktik penggusuran ruang hidup rakyat atas nama klaim Sultanaat Ground (SG) atau tanah kasultanan belakangan ini semakin marak.
Sehingga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja menganggap penghianatan atas Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta sedang terjadi.
Dalam kurun waktu tiga tahun LBH Jogja mencatat terjadi beberapa kasus agraria di Provinsi Yogyakarta. Dimulai pada tahun 2022 dengan kasus penyingkiran PKL Malioboro yang menyebabkan hilangnya mata pencaharian pendorong gerobak.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/disperindag-diy-gelar-pasar-murah-di.html
Disusul tahun 2023 penyingkiran pelaku usaha di sisi utara Jalan Perwakilan. Berikutnya, 2024 penggusuran warga Bong Suwung. Lalu, 2025 terdapat tiga kasus. Penggusuran Taman Parkir Abu Bakar Ali dan warga Tegal Lempuyangan serta yang sekarang berlangsung penggusuran warga di Pantai Sanglen, Tanjungsari, Gunungkidul.
Kepala Divisi Advokasi LBH Jogja Dhanil Alghifary mengungkapkan untuk kasus Pantai Sanglen di Gunungkidul Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengirimkan surat perintah pengosongan lahan di Pantai Sanglen tertanggal 21 Juli 2025. Isinya menyatakan agar warga pemanfaat Pantai Sanglen segera mengosongkan paling lambat Senin 28 Juli 2025, Jika tidak dikosongkan pada tanggal tersebut, dilakukan pengosongan secara paksa.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/konflik-lahan-di-pantai-sanglen-memanas.html
Dalam surat perintah pengosongan itu juga disebutkan tanah yang digunakan warga merupakan SG atau tanah kasultanan. namun diam-diam keraton memberikan serat palilah atau semacam izin prinsip kepada investor PT Biru Bianti Indonesa. Perusahaan yang beralamat di Jalan Urip Sumoharjo No. 65 Klitren, Gondokusuman, Jogja, itu diberikan hak mengelola Pantai Sanglen. Padahal yang saat ini kawasan Pantai Sanglen dikelola masyarakat.
"Warga sudah memanfaatkan tanah di kawasan Pantai Sanglen sejak 1950. Tahun ini, tiba-tiba mendapatkan surat pemberitahuan pengosongan lahan,” ucap Dhanil.
Sementara itu Direktur LBH Jogja Julian Duwi Prasetia menambahkan, dalam surat itu keraton mengklaim sebagai pemilik lahan Pantai Sanglen. Mengutip Pasal 32 ayat (5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, pemanfaatan tanah kasultanan ditujukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, kepentingan sosial dan pengembangan kebudayaan.
Sehingga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja sejak beberapa waktu lalu ditunjuk sebagai kuasa hukum warga Pantai Sanglen menganggap penghianatan atas Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta sedang terjadi.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/politisi-senior-pdip-kwik-kian-gie.html
“Bukan malah diserahkan kepada investor. Ini pengkhianatan terhadap mandat UU Keistimewaan DIY,” kritiknya saat memberikan keterangan pers pada Jumat (25/7/2025) lalu.
Tak hanya LBH Jogja, Wahana lingkungan Hidup (Walhi) Jogja meengkaji bahwa investasi di sektor pariwisata berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakat
Menyikapi itu, LBH Jogja dan Walhi Jogja mengecam segala tindakan dan kebijakan yang melanggengkan praktik penyingkiran rakyat dengan dalih investasi.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/07/indonesia-jadi-negara-paling-mager-di.html
“Dulu, ada rencana Beach Club yang diinisiasi Raffi Ahmad. Sekarang Pantai Sanglen,” papar Elki dari Walhi Jogja.
Menurut Walhi Jogja apakah Beach Club Raffi Ahmad maupun Pantai Sanglen PT Biru Bianti Indonesia, sama-sama berada di kawasan karst geopark. Masuk dalam kawasan lindung. Tapi dipaksa digantikan dengan kepentingan bisnis.
Menyikapi hal tersebut, LBH Jogja dan Walhi Jogja mengecam segala tindakan dan kebijakan yang melanggengkan praktik penyingkiran rakyat dengan dalih investasi.
(WAP)
Social Header