Gunungkidul (DIY), INANEWS.id - Gunungkidul selama ini dikenal melalui panorama alam yang memukau, dari bukit kapur hingga deretan pantai yang menghampar di pesisir selatan. Namun, daya tarik kabupaten ini sesungguhnya tidak hanya datang dari alamnya. Ada kekuatan lain yang membuat banyak orang terkenang: karakter masyarakatnya yang ramah, hangat, dan menjunjung tinggi nilai hormat.
Di berbagai sudut desa, unggah-ungguh Jawa masih menjadi pedoman dalam berbicara maupun bersikap. Warga terbiasa menggunakan bahasa halus ketika berinteraksi, terutama dengan orang yang lebih tua. Sapaan seperti “monggo”, “nyuwun sewu”, atau “nderek langkung” menjadi cermin bagaimana masyarakat Gunungkidul menjaga tatanan sosial melalui kesopanan.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/11/mayat-pria-ditemukan-mengapung-di.html
Tradisi gotong royong atau sambatan menjadi salah satu wajah paling nyata dari budaya kebersamaan. Ketika ada tetangga yang membangun rumah atau menggelar hajatan, warga lain datang membantu tanpa diminta. Tidak ada perhitungan upah, yang ada hanyalah ketulusan dan kesadaran bahwa hidup lebih ringan ketika dijalani bersama.
Dalam kegiatan sambatan, pemandangan warga bekerja sambil bercakap santai menjadi hal biasa. Mereka membawa peralatan sendiri, berkumpul sejak pagi, dan menyelesaikan pekerjaan dengan sukacita. Setelah rampung, tuan rumah biasanya menghidangkan sajian sederhana yang dinikmati bersama sebagai simbol syukur dan kebersamaan.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/11/korsleting-diduga-picu-kebakaran-warung.html
Keramahan warga Gunungkidul juga tampak jelas ketika menerima tamu. Siapapun yang datang bahkan baru pertama kali berkunjung hampir pasti disuguhi teh hangat dan kudapan ringan. Prinsip bahwa “tamu adalah rezeki” membuat masyarakat menyambut pendatang dengan hati terbuka dan tanpa kecanggungan.
Keterbukaan inilah yang membuat mahasiswa, wisatawan, hingga peneliti betah menghabiskan waktu di wilayah ini. Banyak dari mereka mengaku diperlakukan layaknya keluarga sendiri, meskipun baru berinteraksi sebentar. Sikap akomodatif tersebut memperkuat citra Gunungkidul sebagai daerah yang ramah bagi siapa saja.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/11/masuk-usia-ke-103-kalurahan-kemejing.html
Nilai empati pun menjadi bagian penting dari kehidupan sosial di sini. Warga tidak segan membantu tetangga yang sedang sakit, berduka, atau mengalami kesusahan. Bantuan yang diberikan tidak melulu berupa materi, namun juga perhatian, tenaga, dan kehadiran yang menjadi sumber kekuatan bagi mereka yang tengah menghadapi masa sulit.
Kesederhanaan hidup justru membuat masyarakat Gunungkidul lebih menghargai hubungan antarmanusia. Alih-alih mengejar kemewahan, mereka menempatkan kebersamaan dan ketulusan sebagai prioritas. Prinsip itu diwariskan dari generasi ke generasi, membentuk karakter warga yang apa adanya namun penuh kehangatan.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/11/momen-bersejarah-di-watu-gilang-pakoe.html
Dari wilayah yang dipenuhi bukit kapur dan kehidupan desa yang tenang, masyarakat Gunungkidul menunjukkan bahwa kebaikan tidak membutuhkan kemewahan. Nilai-nilai kemanusiaan yang mereka pegang menjadikan daerah ini bukan hanya tempat indah untuk dilihat, tetapi juga ruang yang menenteramkan untuk dihadiri sebuah rumah bagi keramahan yang terus hidup.
(ALX)

Social Header