Yogyakarta (DIY), INANEWS.id - Festival Film JAFF NETPAC Yogyakarta menjadi istimewa karena diputarnya film karya Daniel Rudi Haryanto, Last Supper (Wisper). Pada Minggu, (30/11/2025).
Film yang menghadirkan kisah tiga orang penyitas Operasi Militer Trisula di Blitar Selatan 1968 ini membawa kita kembali pada salah satu bab sejarah paling kelam di Indonesia.
Melalui pengalaman pribadi mereka, Daniel Rudi Haryanto ingin membuka ruang refleksi mengenai dampak panjang stigma dan represif politik yang masih terasa hingga saat ini.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/11/usut-punya-usut-jalan-desa-rusak-parah.html
Selama puluhan tahun para penyitas memikul status sebagai tahanan politik “Dilepas sementara” sebuah warisan administrasi Orde Baru yang tidak sepenuhnya dicabut.
Melalui ingatan, percakapan, dan fragmen-fragmen kehidupan mereka yang tersisa, film ini menelusuri bagaimana sebuah dokumen dapat membayangi keberadaan seseorang selama seumur hidup.
Dengan pendekatan visual dan tata suara yang memadukan gaya sinema dan seni rupa The Last Supper mengajak penonton menyimak bukan hanya apa yang terjadi, tetapi juga bagaimana perasaan kehilangan dan trauma itu bekerja di dalam diri mereka.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/11/bawa-gesper-dini-hari-dua-remaja.html
Alih-alih menghadirkan kronologi peristiwa secara gamblang, film ini mengundang penonton untuk masuk lebih dalam ke atmosfer, jarak dan memori yang mereka simpan selama puluhan tahun.
Kepada INANEWS.id Rudi Gajahmada sapaan akrab Daniel Rudi Haryanto ini mengatakan seni bukan hanya tontonan hiburan semata, namun film juga bisa menjadi alat pengingat dan perlawanan bagi penindasan.
Ia juga menegaskan dari film dokumenter besutannya ini, Daniel ingin mengingatkan kepada pemerintah saat ini bahwa banyak korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang salah sasaran yang harus direhabilitasi namanya termasuk tiga tokoh dalam filmnya ini.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/11/pria-asal-temanggung-tewas-dalam-bak.html
"Dari film ini saya tidak peduli dengan kondisi politik saat ini, namun melalui film ini saya ingin mengingatkan pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang berat untuk mengakui atas kejahatan negara di masa lampau terhadap korban kekerasan HAM yang ada di Indonesia, dan ke tiga tokoh ini bagian kecil pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara," kata Daniel Rudi Haryanto.
Film The Last Supper (Wisper) ini menjadi karya film dokumenter terapik dari Daniel, karena memakan waktu penggarapan lebih dari tujuh tahun. Terlebih dalam pemutaran film ini Daniel menghadirkan salah satu tokoh utama dan keluarga korban dari film ini.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/11/puluhan-truk-pasir-kuasai-jalan-desa-di.html
Rudi berharap negara memberikan kepastian hukum atas status ke tiga korban ini, kendati saat ini para korban telah bisa mempergunakan hak politik nya.
"Para tokoh ini kan dibebaskan begitu saja dengan keterangan dibebaskan sementara, ini yang menjadi ganjalan, ketakutan dan traumatik bagi para tokoh ini, dan melalui film ini saya meminta ketegasan negara, karena mereka bukan pelaku, mereka korban, sehingga penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat dilakukan secara berkeadilan dan berprikemanusiaan sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945," tegas Daniel Rudi.
(WAP)

Social Header