Yogyakarta, INANEWS.id - Pemda DIY melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah melakukan sidang klarifikasi Penerapan Tunjangan Hari Raya Keagamaan di RSUP dr. Sardjito yang sempat menjadi polemik. Berlangsung di Gedung Administrasi Pusat RSUP dr. Sardjito, Rabu (26/3/2025) lalu, sidang ini dipimpin langsung oleh Kepala Disnakertrans DIY, Aria Nugrahadi, diikuti oleh Ombudsman RI dan Direktur Utama RSUP dr. Sardjito, Eniarti.
Aria secara langsung meminta klarifikasi kepada RSUP dr. Sardjito terkait apakah terjadi pelanggaran terhadap pembayaran THR Keagamaan tahun 2020, sehingga mengakibatkan beberapa civitas hospilia melakukan protes. Dari hasil sidang dan klarifikasi tersebut, Aria menjelaskan, yang menimbulkan protes bukanlah THR gaji, karena sudah diberikan sebesar 100%. Persoalan muncul ketika THR Insentif yang diberikan. Dimana THR Insentif ini, dinilai hanya 30% dari jumlah tahun lalu.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/03/pemprov-dki-gelar-program-mudik-dan.html
Aria menyebut, THR insentif ini berdasarkan hasil klarifikasi diberikan berdasarkan kemampuan keuangan rumah sakit dengan besaran proporsi beban pegawai terhadap pendapatan sebesar 48%. Nominal terendah adalah Rp2.500.000,00 sedangkan yang tertinggi adalah Rp25.936.200,00.
Aria meminta agar RSUP dr. Sardjito memitigasi kembali permasalahan yang ditimbulkan dari polemik tersebut. Secara konseptual, hubungan antara pemberi kerja dengan pegawai harus memenuhi prinsip waktu kerja kerja lembur beban kerja yang seimbang dengan gaji dan wajib menjaga keharmonisan hubungan. Aria memastikan hal ini telah dilakukan oleh rumah sakit.
“Saat ini para pegawai melalui perwakilan pegawai telah bisa menerima penjelasan manajemen mengenai jumlah perhitungan insentif yang akan mereka terima. Akan dilakukan strategi komunikasi kedepannya untuk mengembalikan situasi kondusif dan menjaga kepercayaan publik,” kata Aria.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/03/wakapolri-ungkap-h-3-60-persen.html
Direktur SDM, Pendidikan, dan Penelitian RSUP Dr Sardjito, Nusati Ikawahju menjelaskan, tidak ada aturan yang dilanggar dalam penyaliran THR tersebut, dan sudah sesuai dengan aturan Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kemenkes RI. "THR insentif yang sudah dibayarkan. Tidak ada pemotongan THR dan semua telah sesuai dengan ketentuan yang ada, berdasarkan kemampuan keuangan rumah sakit dengan mempertimbangkan pendapatan rumah sakit," kata Nusati.
Penurunan THR Insentif ini menurut Nusati dikarenakan target capaian indikator kinerja keuangan dan operasional dari Kementerian Kesehatan. Salah satu indikator yang diberikan adalah adalah rasio belanja pegawai terhadap pendapatan tidak boleh lebih dari 45% dari pendapatan rumah sakit.
“Alasan berkurangnya THR insentif dari tahun sebelumnya adalah karena tahun 2025 ini, dari Kementerian Kesehatan sudah ada Target Capaian Indikator Kinerja Keuangan dan Operasional dengan 12 indikator,” jelasnya.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/03/ulama-besar-nu-gunungkidul-kh-bardan.html
Pemberian THR mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan No. 335/2024 tentang Penerapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Pegawai, Dan Dewan Pengawas Badan Layanan Umum Rumah Sakit Pada Kementerian Kesehatan. Sementara, untuk dokter, sistem remunerasi sudah dibayar berdasarkan pelayanan atau fee for service. Sedangkan untuk pegawai BLU perawat dan tenaga kesehatan lain, diberikan berdasarkan realisasi rata-rata remunerasi pada Februari, yakni sebesar 48-77 persen pada setiap jenjang Pelaksana Keperawatan (PK) atau Penunjang Medis (PM) per lokus. Pegawai BLU dokter umum dan non-medis yang terdiri dari operasional staf sampai dengan strategic leader, diberikan sebesar 43-98 persen dari realisasi pembayaran remunerasi Februari 2025. Nilai minimal yang diberikan sebesar Rp2,5 juta.
"Untuk RSUP Dr Sardjito, dari perhitungan diberikan 21-26 persen dari rata-rata fee for service 3 bulan terakhir, dengan nilai yang dibagikan berkisar Rp2,8 juta-Rp25,9 juta. Nilai terendah sesuai standar tunjangan kinerja di Kemenkes," ujarnya.
Direktur Utama RSUP Dr Sardjito, Eniarti, menambahkan, penyesuaian tersebut bisa dilakukan setelah rumah sakit mendapat kelonggaran batas maksimal proporsi belanja SDM dari Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/03/walikota-yogya-targetkan-sebelum.html
Awalnya batas maksimal belanja SDM ditetapkan 45 persen dari total pendapatan operasional rumah sakit. Namun angka tersebut dinilai belum cukup untuk memenuhi ekspektasi pegawai. "Pendapatan kita itu di angka Rp124 miliar dalam waktu satu bulan. Seharusnya idealnya di angka Rp140 miliar. Kalau kita mengikuti pakem 45 persen, hasilnya ternyata tidak memuaskan,” ujarnya.
Atas kondisi tersebut, pihaknya meminta izin kepada Kemenkes untuk membuka proporsi belanja SDM hingga 48 persen.
"Kita keluar dari pakem. Tadinya maksimal 45 persen, kita meminta izin kepada Dirjen walaupun nanti itu indikatornya akan merah, kami akan buka di angka 48 persen," imbuhnya.
Kebijakan tersebut, lanjut Eniarti, diterapkan menyeluruh dan mencakup seluruh unsur SDM di RSUP Sardjito, mulai dari direksi, dewan pengawas, hingga seluruh pegawai. Dengan membuka belanja SDM hingga 48 persen ini, rumah sakit memiliki ruang lebih besar dalam penghitungan THR insentif.
(WAP)
Social Header