Breaking News

”Batas Usia Kerja dan Tantangan Penegakan Hukum"



INANEWS.id - “Negara ini milik siapa? Apakah hanya milik mereka yang muda, yang berkulit kencang, yang wajahnya cocok di iklan rekrutmen?” 

Ini bukan sekadar kajian hukum. Ini suara yang lahir dari lapangan kerja, dari wajah-wajah buruh yang ditolak karena usia, dari pabrik-pabrik yang terus berdetak tanpa suara para veteran kerja yang dikucilkan. Meninjau ulang paradigma rekrutmen dan merumuskan ulang arah keadilan ketenagakerjaan di Indonesia.

Orang-orang itu datang pagi-pagi benar. Sebelum matahari menembus kabut tipis dan sebelum ayam desa sempat memekik dua kali. Mereka berkumpul di ujung jalan tanah, memegang spanduk merah yang kainnya sobek di beberapa sudut, tapi huruf putihnya masih jelas: “TOLAK BATAS UMUR KERJA.” Wajah mereka keras. Keringatnya dari kemarin. Sisa lapar dari kemarinnya lagi. Tubuh mereka kering, tapi mata mereka membara. Bukan karena marah saja. Tapi karena harapan yang disempitkan sistem yang menyebut dirinya modern tapi memuja batas usia seolah waktu bekerja hanya milik muda.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/kenalkan-fungsi-layanan-hukum-kanwil.html

Ini adalah suara yang tumbuh dari perut perlawanan. Ia lahir dari duka para buruh yang telah melewati usia 35, lalu dianggap sampah oleh sistem yang menyebut dirinya adil. Mereka tidak cacat, tidak buta huruf, tidak bodoh. Mereka hanya... lebih tua. Dan karena itu, tak diberi peluang kerja. Karena itu pula, mereka dianggap usang, tidak produktif, tidak adaptif.

Padahal, siapa yang lebih tahu denyut mesin kalau bukan yang telah mengoperasikannya selama belasan tahun? Siapa yang lebih hafal suara retak pipa pabrik selain yang telah memeriksanya berkali-kali dalam gelap? Siapa yang paling tangguh di bawah matahari selain yang mengangkat karung semen sejak belum ada kartu identitas? Tapi sistem ini berkata lain. Ia punya hitungan sendiri. Usia 30 tahun ke atas, maka Anda sudah terlalu tua untuk dianggap ‘potensial’. Anda bukan aset, Anda liabilitas.

Suara-suara yang tak terdengar. Ia menyusun kalimat dari laporan BPJS yang diam-diam menunjukkan peningkatan pengangguran usia menengah.  Merajut data dari BPS yang tak sempat dibaca elit karena terlalu sibuk mengurus investasi.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/petugas-berhasil-selamatkan-tiga-orang.html

Di konstitusi, Pasal 27 ayat (2) mestinya menjadi perisai buruh, tapi kini hanya menjadi poster usang di dinding ruang sidang.

Gambar ini, menjadikannya tajam.  Menghitung betapa mahalnya harga diskriminasi. Negara kehilangan milyaran rupiah dari pajak yang seharusnya dibayar oleh para pekerja berpengalaman jika saja mereka tak didepak dari bursa kerja. Perusahaan merugi karena harus melatih tenaga baru dari nol, hanya karena takut pada usia. Dan masyarakat menanggung beban sosial, karena orang-orang yang dulu menjadi tulang punggung kini menggantungkan hidup pada bantuan sosial yang tak pasti.

Namun, gambar ini bukan hanya kumpulan keluhan. Sodoran solusi. Tegas. Sistematis. Hilal mulai muncul. Negara menampakan wajah, terbit Surat Edaran Menaker No. M/6/HK.04/V/2025, soal diskriminasi pembatasan para pencaker. Semua tidak berhenti pada Surat Edaran Menaker yang masih apa adanya. Hanya memberi imbauan tanpa sanksi, seperti gurauan yang dibungkus stempel negara. Semua menuntut regulasi yang mengikat. Menawarkan insentif fiskal bagi perusahaan yang bersedia mempekerjakan buruh usia 40 tahun ke atas. Mendorong digitalisasi pengawasan ketenagakerjaan yang transparan. Mendesak perubahan paradigma, dari “usia adalah hambatan” menjadi “pengalaman adalah kekuatan”.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/buang-limbah-sembangrangan-warga-desa.html

Pemikiran Prof. Yassierli, ahli ergonomi kerja yang membuktikan bahwa usia bukan penentu produktivitas, melainkan sistem kerja-lah yang harus disesuaikan. Dengan pendekatan design thinking,  pekerjaan bisa dirancang untuk siapa saja, selama sistemnya memanusiakan manusia. 

Dengan duet Immanuel Ebenezer, sebagai "media darling", berteriak disetiap pojok pabrik se-republik. Tidak berhenti di ruang sidang atau ruang dosen.  Turun ke jalan.  membawa suara demonstran di depan pabrik yang menolak batas umur kerja. Ia menuliskan dengan jelas: “Ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi tentang hak untuk dihargai, bahkan setelah uban mulai tumbuh.” Seperti maklumat. Bukan hanya untuk kementerian, tapi juga untuk setiap HRD, setiap direksi perusahaan, setiap pengambil keputusan yang masih mengukur manusia dengan angka usia.

“Negara ini milik siapa?”.

 “Apakah hanya milik mereka yang muda, yang berkulit kencang, yang wajahnya cocok di iklan rekrutmen?”

“Hukum tak boleh tua sebelum menua bersama rakyatnya.”


Penulis: Penta Peturun



© Copyright 2022 - INANEWS