Tan Malaka mungkin wafat sebelum Pancasila resmi dikukuhkan dalam konstitusi, namun jejak pemikirannya tertanam kuat dalam perjuangan kemerdekaan dan cita-cita Indonesia merdeka yang sejati. Ia bukan hanya penulis Madilog dan penggerak rakyat, melainkan simbol perlawanan tanpa kompromi terhadap imperialisme dan elitisme yang meminggirkan rakyat.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/psi-indramayu-tancap-gas-persiapan.html
Keselarasan: Pancasila dan Api Perjuangan Tan Malaka
Ada semangat yang berpadu antara Pancasila dan pemikiran Tan Malaka, meski mereka lahir dari jalur yang berbeda.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah nafas dari perjuangan Tan Malaka. Ia menolak dengan tegas segala bentuk kolonialisme, kapitalisme, dan penindasan kelas. Baginya, kemanusiaan tidak cukup sekadar belas kasih ia harus berwujud dalam pembebasan sosial yang nyata.
Sila Persatuan Indonesia menemukan cerminannya dalam gagasan Tan tentang kemerdekaan sejati bukan kemerdekaan yang diberikan, melainkan direbut oleh rakyat sendiri, tanpa campur tangan kekuatan asing, entah dari barat atau blok timur. Ia bukan nasionalis setengah hati; ia adalah revolusioner yang menjadikan rakyat sebagai pilar utama bangsa.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/warga-wonosobo-dilarikan-ke-rumah-sakit.html
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah inti dari seluruh hidup dan perjuangannya. Tan berdiri bersama buruh, tani, dan rakyat kecil. Ia menyerang sistem feodal dan kolonial yang mengakar dalam ekonomi dan politik Indonesia, bahkan setelah proklamasi kemerdekaan.
Dan dalam sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Tan mengimpikan demokrasi sejati dimana kekuasaan tidak tersentral di tangan elit, tetapi mengalir dari akar rumput, dari massa rakyat yang tercerahkan dan sadar akan hak-haknya.
Pertentangan: Ketika Revolusi Tak Bisa Dinegosiasikan
Namun, mari kita bicara jujur. Pancasila, yang merupakan hasil kompromi antara kekuatan nasionalis, religius, dan sosialis, berdiri di atas fondasi harmoni. Tan Malaka tidak. Ia menolak kompromi dengan borjuasi, menolak langkah-langkah yang hanya menghasilkan kemerdekaan semu.
Pertama, Tan Malaka tidak mendasarkan perjuangannya pada Ketuhanan dalam konteks teologis. Dalam Madilog, ia menyusun metode berpikir ilmiah materialisme, dialektika, dan logika sebagai alat revolusi. Ia tidak anti agama, tetapi menolak dogma dijadikan pijakan politik. Di sinilah ia berbeda tajam dari sila pertama Pancasila.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/2-kalurahan-di-gunungkidul-kolaborasi.html
Kedua, Tan menolak pendekatan jalan tengah. Ia bukan diplomat; ia revolusioner. Sementara Pancasila mendorong musyawarah dan mufakat, Tan melihat pertarungan kelas sebagai keniscayaan. Ia tidak percaya kepada "kesepakatan" yang mengorbankan massa demi stabilitas elite.
Ketiga, dan yang paling eksplosif: penolakannya terhadap perjanjian-perjanjian seperti Linggarjati, Renville, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Baginya, ini bukan diplomasi. Ini adalah penyesatan sejarah! Bagaimana mungkin bangsa yang telah memproklamasikan kemerdekaannya mau berunding soal kedaulatan dengan bekas penjajah?
Tan Malaka melihat perjanjian-perjanjian itu sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, yang dikemas dengan bahasa diplomasi, tapi hakikatnya adalah penyerahan martabat bangsa. Ia menuding para pemimpin yang duduk di meja perundingan sebagai pengkhianat revolusi. Bagi Tan, hanya revolusi total revolusi rakyat yang dapat menghapus jejak kolonialisme sepenuhnya.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/laka-maut-di-simpang-gotongroyong.html
Penutup: Pancasila adalah Medan Juang, Bukan Monumen
Meninjau Pancasila dari perspektif Tan Malaka bukan berarti menolak Pancasila. Justru sebaliknya: ini adalah upaya menyuntikkan kembali darah perjuangan ke dalam tubuh ideologi negara yang mulai kehilangan taringnya.
Pancasila bukan slogan. Ia medan perjuangan yang harus terus dirawat, dikritisi, dan bahkan digugat agar tidak membatu dalam kemapanan politik. Tan Malaka mengingatkan kita bahwa ideologi yang berpihak kepada rakyat hanya akan hidup bila berani menghadapi risiko, bukan bersembunyi di balik kompromi.
Hari ini, ketika oligarki baru dan kolonialisme gaya baru merayap dalam sistem, suara Tan Malaka kembali menggema: Revolusi belum selesai. Dan Pancasila harus kembali dibaca dengan nyala keberpihakan pada yang kecil, yang lemah, yang tertindas.
Oleh: Daddy Palgunadi
Direktur Tan Malaka Institute Jawa Barat
(Ditulis dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025)
Social Header