Breaking News

Jokowi, Megawati, dan PSI: Politik Nama Besar yang Masih Menggantung

 

Oleh: Daddy Palgunadi Pengamat Politik dari Lanskap Publik

INANEWS.id - Pemilu 2029 bukan hanya soal siapa yang meraih suara terbanyak, tapi juga siapa yang mampu membangun simbol politik yang utuh dan mengakar. Dalam konstelasi politik Indonesia saat ini, dua nama besar terus membetot perhatian: Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo. Keduanya menempati posisi penting dalam sejarah politik modern Indonesia, namun dengan karakteristik dan basis kekuatan yang sangat berbeda.

Megawati dan PDIP: Simbol Pemersatu yang Teruji

Selama lebih dari dua dekade, Megawati memimpin PDIP dengan posisi ganda: sebagai ketua umum dan simbol ideologis partai. Dalam sejarah partai politik Indonesia pasca reformasi, sangat sedikit tokoh yang bisa memegang peran ganda ini secara konsisten.

Megawati menjadi figur pemersatu bagi berbagai faksi internal PDIP. Ia tidak hanya menyatukan elite partai, tetapi juga membangun koneksi emosional dengan akar rumput yang mengakar sejak era perjuangan ayahnya, Bung Karno. Keberhasilannya menjaga soliditas PDIP di tengah badai politik membuktikan bahwa simbol ideologis jauh lebih langgeng dibanding sekadar mesin elektoral.

"PDIP kuat karena Megawati bukan hanya pemimpin administratif, tapi figur simbolik yang mampu mengikat partai secara historis, sosiologis, dan ideologis," ujar Daddy Palgunadi, pengamat politik dari Lanskap Publik.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/kejuaraan-panahan-waroeng-ss-gladi.html

Jokowi: Figur Elektoral yang Masih Mencari Rumah Politik

Sebaliknya, Joko Widodo adalah simbol keberhasilan elektoral tanpa partai yang benar-benar menjadi rumah politiknya. Ia pernah menang di semua level: wali kota, gubernur, dan presiden dua periode. Namun hingga kini, Jokowi masih belum melekat secara ideologis dengan satu partai pun.

PDIP memang mengusungnya dalam dua kali pilpres, tetapi relasi Jokowi dengan PDIP kerap pasang surut. Menjelang akhir masa jabatannya, ia justru terlihat lebih dekat dengan partai-partai nontradisional seperti PSI.

Masuknya Jokowi sebagai Ketua Dewan Pembina PSI menjadi sinyal penting. Namun pertanyaannya: apakah nama besar Jokowi cukup untuk mendongkrak suara PSI di Pemilu 2029?

Hingga saat ini, belum terlihat adanya keterlibatan Jokowi secara aktif dalam konsolidasi dan narasi politik PSI. Bahkan ketika serangan terhadap dirinya muncul kembali seperti isu ijazah palsu reaksi PSI tampak lemah. Jika Jokowi memang hendak dijadikan simbol utama, mestinya PSI tampil sebagai pelindung pertama saat simbol itu diserang.

"PSI ingin menjadikan Jokowi sebagai jangkar politik, tapi belum ada tanda bahwa partai ini membangun ikatan emosional dan struktural yang nyata," kata Daddy.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/kebersamaan-imo-indonesia-di-nol.html

Belajar dari Prabowo: Nama Besar Butuh Konsistensi Struktural

Pengalaman Prabowo Subianto memberikan pelajaran penting. Prabowo telah mengikuti kontestasi politik nasional sejak 2004, dan membangun citra nasionalis selama hampir dua dekade. Namun perlu dicatat, nama besar Prabowo tidak serta-merta berbanding lurus dengan perolehan suara Gerindra.

Baru pada Pemilu 2024, Gerindra mulai merasakan lonjakan signifikan dalam perolehan suara. Itu pun terjadi setelah Prabowo berkali-kali tampil sebagai calon presiden, menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dan melakukan transformasi politik secara konsisten. Dibutuhkan waktu panjang dan konsolidasi struktural untuk menjadikan Gerindra sebagai partai papan atas.

"Prabowo membutuhkan beberapa kali pemilu untuk bisa dalam situasi hari ini. Nama besar tanpa kerja struktur tidak cukup untuk memenangkan partai," jelas Daddy Palgunadi.

Ini menjadi peringatan keras bagi PSI. Tanpa konsolidasi struktur dan narasi yang kuat, nama besar Jokowi bisa bernasib serupa: besar secara personal, tapi tidak mampu mendongkrak suara partai secara proporsional.

Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/pelayanan-lapas-kelas-ii-dinilai.html

Penutup: Politik Butuh Simbol, Tapi Juga Butuh Struktur

Jokowi memang punya modal elektoral yang besar. Namun jika ingin tetap relevan dan berpengaruh pasca 2024, ia harus segera menetapkan rumah politik yang bisa menjadi panggung sekaligus benteng perjuangannya.

Bagi PSI, tantangannya lebih besar lagi: membangun narasi yang kuat, struktur kaderisasi yang solid, dan menjadikan Jokowi bukan sekadar poster boy, tapi figur ideologis yang menjadi jiwa partai. Tanpa itu, nama besar hanya akan jadi gemuruh sesaat di tengah ruang gema digital.

Dan sejarah akan mencatat: Jokowi, presiden yang menang berkali-kali, namun gagal membangun kekuatan politik permanen.


Kontak person 

Daddy Palgunadi 

082215449556

© Copyright 2022 - INANEWS