Oleh: Iswan Taufik
Alumnus FISIPOL UNDAR Jombang | Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan, IPB University
Kangean, INANEWS.id - Terletak di timur laut Madura, Pulau Kangean bukan sekadar titik kecil yang tersembunyi di perairan Nusantara. Ia adalah rumah bagi lebih dari 166.000 jiwa yang tersebar di tiga kecamatan: Arjasa, Kangayan, dan Sapeken (BPS 2022). Lautnya kaya, daratannya hidup, dan masyarakatnya menggantungkan harapan pada kekayaan alam yang mereka jaga turun-temurun.
Berbagai spesies ikan bernilai tinggi seperti tuna, tongkol, kakap, dan kerapu menjadi andalan nelayan. Pasir putih dan terumbu karang mempercantik lanskap pesisir yang juga diperkaya padang lamun dan hutan mangrove, menjadikannya ekosistem yang vital dan kompleks.
Namun, seperti halnya Raja Ampat di Papua yang kini menjadi perhatian dunia, Kangean juga bukan tanah kosong. Ia bukan ruang hampa yang siap dieksploitasi tanpa pertimbangan.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/publik-apresiasi-peresmian-bale-kertha.html
Di Bawah Kaki, Kekayaan Alam; Di Atasnya, Ketimpangan
Sejak 1980-an, Kangean menjadi lokasi eksplorasi minyak dan gas bumi. Perusahaan-perusahaan migas, termasuk Kangean Energy Indonesia (KEI) di bawah koordinasi SKK Migas, menjanjikan kemajuan dan kesejahteraan. Namun, janji-janji itu belum menjelma menjadi kenyataan.
Fakta di lapangan menunjukkan ketimpangan yang mencolok. Jalan-jalan rusak menjadi pemandangan sehari-hari, pasokan air bersih belum menjangkau pelosok desa, dan listrik kerap padam. Di bidang pendidikan, sekolah kekurangan guru. Di sektor kesehatan, layanan medis terbatas dan hanya tersedia di pusat kecamatan.
Sementara mesin-mesin pengeboran tetap bekerja, masyarakat di sekitarnya belum merasakan manfaat sebanding.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/audiensi-hangat-di-rumah-dinas-wali.html
Ancaman Baru Bernama Survei Seismik
Kini, Pulau Kangean menghadapi ancaman baru: survei seismik 3D. Ini adalah metode pemetaan bawah laut untuk mengidentifikasi cadangan migas dengan menembakkan gelombang akustik bertekanan tinggi bisa mencapai 260 desibel, melebihi suara mesin jet.
Ledakan suara yang terjadi setiap 10 detik selama berhari-hari hingga berminggu-minggu ini menimbulkan dampak serius pada ekosistem laut. Ikan-ikan menjauh, udang dan kerang mati, dan biota laut lain yang menjadi sumber hidup nelayan ikut musnah.
Bagi para nelayan, ini bukan sekadar gangguan sementara. Ini adalah bencana ekologis. Pendapatan menurun, hasil tangkapan berkurang, dan ruang hidup mereka terhimpit.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/wabup-gunungkidul-dorong-perempuan.html
Payung Hukum yang Tak Pernah Membuka
Padahal, perlindungan hukum seharusnya sudah tersedia. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudian diperbarui melalui UU No. 1 Tahun 2014, menegaskan bahwa wilayah pulau kecil seperti Kangean harus dikelola secara berkelanjutan, adil, dan melibatkan masyarakat lokal.
Namun, dalam praktiknya, semangat hukum itu sering kali terabaikan. Proyek-proyek eksplorasi besar dijalankan tanpa persetujuan utuh dari rakyat yang terdampak langsung. Proses konsultasi sering hanya formalitas belaka.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/13-orang-ikuti-pengisian-pamong-kelor.html
Belajar dari Cepu hingga Delta Niger
Sejarah eksploitasi migas di berbagai wilayah menunjukkan pola berulang: ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan marginalisasi warga lokal.
Di Blok Cepu, Jawa Timur, misalnya, warga masih menuntut kompensasi dari ExxonMobil atas dampak lingkungan yang mereka alami. Di Bojonegoro, warga kehilangan lahan pertanian akibat pengeboran dan tak semuanya mendapat ganti rugi yang layak (JATAM & WALHI, 2021).
Kasus paling ekstrem datang dari Delta Niger, Nigeria. Selama lebih dari 60 tahun, Shell dan Chevron mengeruk minyak di sana. Hasilnya: air tercemar, udara terpolusi, tanah rusak, dan konflik sosial tak kunjung reda (Amnesty International & Friends of the Earth, 2011).
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/gunungkidul-tuan-rumah-kongres-diaspora.html
Kami Tidak Menolak Pembangunan
Penolakan terhadap survei seismik bukan karena masyarakat Kangean anti pembangunan. Tetapi karena pembangunan yang eksploitatif, timpang, dan mengabaikan hak warga hanya akan melahirkan penderitaan jangka panjang.
Kami menolak eksplorasi yang memperkaya segelintir elite namun memiskinkan ribuan warga pesisir. Kami menolak narasi “demi kepentingan nasional” yang kerap digunakan untuk membungkam suara komunitas lokal.
Kami menuntut penghentian proyek seismik yang dipaksakan tanpa dialog terbuka dan setara. Kami menuntut transparansi dalam setiap kebijakan pembangunan. Kami menuntut keadilan ekologis, serta penghormatan terhadap hak hidup komunitas pesisir.
Jika pembangunan memang untuk rakyat, maka suara rakyat harus menjadi fondasinya.
Kangean Adalah Rumah Kami
Kangean bukan tanah kosong. Ia adalah tanah hidup yang melahirkan peradaban dan penghidupan. Seperti Raja Ampat, ia pantas dijaga, bukan dijual. Ia pantas dipeluk, bukan diporakporandakan.
Save Kangean. Tolak Survei Seismik.
Social Header