Bandung (Jawa Barat), INANEWS.id – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memberikan tanggapan tegas terhadap berbagai kritik yang diarahkan kepadanya terkait kebijakan penanganan anak-anak dengan perilaku khusus di wilayahnya. Dalam sebuah unggahan video melalui akun Instagram resminya, @dedimulyadi71, Dedi menyampaikan bahwa negara tidak bisa bekerja sendirian dalam membangun karakter dan masa depan anak bangsa.
“Ada hal yang menarik yang jadi pertanyaan terus dan diarahkan ke saya tentang penanganan anak-anak kita yang punya sifat khusus dan harus ditangani serta diarahkan ke jadi lebih baik,” ujar Dedi.
Kritik datang dari sejumlah pengamat hak asasi manusia dan pemerhati perkembangan anak yang menyoroti pendekatan pendidikan berdisiplin 28 hari yang diterapkan Pemprov Jawa Barat. Namun, Dedi menegaskan bahwa langkah tersebut bukan bentuk represi, melainkan bagian dari upaya menyeluruh untuk menyelamatkan generasi muda dari bahaya lingkungan sosial yang destruktif.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/pemerintah-jawa-barat-luncurkan.html
Menurutnya, negara telah hadir dengan berbagai kebijakan konkret, mulai dari perbaikan rumah warga, penyediaan akses listrik, hingga pembangunan sarana jalan dan sekolah. Namun, ada ranah-ranah yang tidak bisa diintervensi sepenuhnya oleh pemerintah, seperti relasi keluarga yang harmonis dan pendidikan di rumah.
“Ketika bicara nyaman saat di rumah, tentunya itu wilayah privasi keluarga. Tapi soal kebijakan, saya sudah lakukan. Yang tak punya listrik kami nyalakan, rumah yang jelek sudah kami perbaiki secara bertahap,” ungkapnya.
Lebih jauh, Dedi menyoroti pentingnya kesadaran kolektif sebagai pondasi membangun negeri. Ia menegaskan bahwa membentuk karakter anak-anak bukan hanya tugas pemerintah, tetapi membutuhkan peran aktif keluarga, sekolah, dan masyarakat luas.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/sepak-bola-pondokcina-sparing-dengan.html
“Negeri ini hanya bisa dibangun dengan kesadaran. Negara tidak mungkin bisa menyelesaikan semuanya. Tidak mungkin saya sebagai gubernur bisa ikut campur saat orang tua bertengkar di rumah hingga anaknya kabur atau depresi,” kata Dedi.
Program pendidikan karakter 28 hari yang dijalankan Pemprov Jabar, menurutnya, adalah solusi alternatif bagi anak-anak yang tidak tertangani secara maksimal oleh lingkungan rumah atau lembaga pendidikan formal. Anak-anak yang tidak berproses pidana tapi memiliki kecenderungan destruktif, akan dibina melalui pendekatan pendidikan yang disiplin namun humanis.
“Di sana ada guru, ada psikolog, ada ustadz, ada dokter, dan ada pengawas dari Kanwil. Semua berjalan berdasarkan prinsip hak asasi manusia. Ini bukan pendidikan militer, seperti yang dituduhkan. Ini pendidikan dengan pendekatan karakter ala negara maju,” imbuhnya.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/05/kdm-bakal-keluarkan-pergub-untuk.html
Dedi juga memastikan bahwa anak-anak tersebut tetap tercatat sebagai siswa aktif di sekolah asalnya dan dapat mengikuti ujian sesuai kalender pendidikan nasional. Ia menegaskan, program ini bukan pembatasan hak, melainkan perluasan kesempatan untuk anak-anak yang tersisih dari sistem konvensional.
“Kalau ada yang mengkritik tanpa melihat langsung prosesnya, itu tidak adil. Saya sudah keliling, saya tangani sendiri anak-anak ini, dan saya percaya pendekatan ini bisa menyelamatkan mereka,” tandas Dedi.
Di akhir pernyataannya, Gubernur Dedi mengajak semua elemen masyarakat untuk melihat persoalan anak secara lebih luas dan tidak semata-mata menyandarkan tanggung jawab pada pemerintah. “Kalau kita mau negeri ini berubah, maka perubahan itu dimulai dari kesadaran setiap orang. Negeri ini hanya bisa dibangun dengan kesadaran,” tutupnya.
Penulis: Daddy Palgunadi
Aktivis Jawa Barat Istimewa Direktur Tan Malaka Institute Jawa Barat
Social Header