Oleh: Penta Peturun
INANEWS.id - "Di atas motor tua dan algoritma yang tak pernah tidur, mereka menafkahi keluarga tanpa dianggap pekerja."
Republik dan Mereka yang Tidak Tertulis.
Ada yang berjalan tanpa nama, ada yang bekerja tanpa status. Di persimpangan jalan kota-kota besar Indonesia, jutaan pengemudi ojek online memutar gasnya setiap pagi. Mereka disebut “mitra”. Tapi apakah itu sekadar sebutan atau strategi? Mereka tidak punya jam kerja tetap, tak punya ruang istirahat, tak punya kontrak, dan tak pernah dianggap pekerja.
Dalam ruang hukum, istilah "mitra" bukan sekadar redaksi administratif. Ia adalah upaya sistemik untuk mengeluarkan manusia dari perlindungan hukum, dan memindahkan beban dari perusahaan ke individu. Dalam logika Hans Kelsen, ini berarti menggeser posisi seseorang dari rantai norma formal ketenagakerjaan. “Mitra” bukan pekerja, maka ia tidak berhak atas jaminan sosial, cuti, atau upah minimum.
Suara yang Diabaikan, Kini Didengar Dunia.
Namun dunia berubah. Dan kadang, suara dari jalanan bisa mengguncang sidang di Jenewa. Pada Konferensi Perburuhan Internasional ke-113 tahun 2025, yang diselenggarakan oleh International Labour Organization (ILO), 187 negara anggota berkumpul. Untuk pertama kalinya, platform digital tidak hanya disebut sebagai entitas teknologi, melainkan struktur kerja yang nyata.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/dua-motor-rem-blong-enam-wisatawan.html
Di ruang sidang ILO, Indonesia bukan sekadar hadir. Tapi bicara, berdiri mengakui. Hadir pula Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer (Noel), Dari Jalanan ke Jenewa, menghadiri pembukaan Konferensi Perburuhan Internasional ke-113, berlangsung pada 2-13 Juni 2025 di markas besar ILO dan Kantor PBB di Jenewa, Swiss. Noel, menyampaikan kehadirannya menjadi perwakilan pemerintah, pekerja/buruh, dan pengusaha (tripartit) Indonesia di ILC yang bisa menghasilkan sebuah regulasi yang bisa menjadi standar. Noel mengatakan pihaknya memprioritaskan 3 isu penting yang mencerminkan arah kebijakan ketenagakerjaan nasional sekaligus kepedulian terhadap isu global. Pertama, regulasi untuk pekerjaan layak dalam ekonomi berbasis platform digital. Kedua, perlindungan terhadap bahaya biologis di tempat kerja. "Terakhir terkait pembahasan transisi pekerja dari sektor informal ke formal guna memperluas jaminan perlindungan sosial dan kepastian kerja," kata Noel biasa disapa.
Kehadiran Indonesia dalam forum global bisa berkomitmen pada pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional, khususnya dalam membela hak-hak pekerja, membangun hubungan industrial yang harmonis, dan menciptakan lapangan kerja berkualitas. Immanuel menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak hanya hadir sebagai peserta, tetapi sebagai bagian dari solusi dunia kerja global. Dengan suara lantang Noel mengatakan “Kami ingin memastikan bahwa suara Indonesia didengar, dan standar yang dihasilkan relevan serta berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan sosial.”
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/tragis-tiga-remaja-meninggal-dunia-usai.html
Lebih jauh lagi, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri, atas nama pemerintah Indonesia Menteri Ketenagakerjaan Prof. Yassierli, menegaskan dalam sidang Komite Kerja Layak untuk Ekonomi Platform, “Pemerintah Indonesia memandang bahwa pembahasan lanjutan konvensi ini sangat strategis, tidak hanya bagi pekerja, tetapi juga bagi pengusaha dan perekonomian nasional secara luas.” tepat tanggal 5 Juni 2025 pukul 19.20 waktu Jenewa (00.20 WIB), Indonesia secara resmi menyatakan dukungan terhadap pembentukan Konvensi ILO tentang Pekerja Digital.
Kapitalisme Algoritmik- Kekuasaan Tanpa Wajah.
Dalam ekosistem kerja digital, bos bukan lagi manusia, melainkan algoritma. Aplikasi GoPartner, GrabDriver, dan Maxim menjadi panoptikon versi modern. Mereka melacak, mengatur, dan menghukum tanpa suara. Pengemudi tidak lagi tahu siapa yang mengontrol mereka, hanya tahu bahwa sistem bisa menghilangkan penghasilan mereka dalam satu klik.
Konsep ini digambarkan dengan tajam oleh Michel Foucault, kekuasaan bukan hanya represif, tapi juga produktif yang membentuk tubuh dan pikiran, perilaku dan rutinitas.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/curi-ayam-remaja-15-tahun-diamankan.html
Dalam sistem ini, setiap klik, jeda, dan detik diam adalah data. Shoshana Zuboff menyebut ini sebagai surveillance capitalism, kapitalisme yang mengkomodifikasi perilaku. Pengemudi ojol bukan hanya bekerja, mereka diubah menjadi data yang dijual.
Ketika Doa Menjadi Data
Apakah negara cukup mendengar suara yang tidak terekam di survei? Obrolan antarhelm, keluhan di parkiran, atau percakapan WA grup adalah bentuk pengetahuan sosial yang belum diakui sebagai sumber kebijakan. Tapi di tahun 2025, narasi itu berubah.
ILO 2025 menandai perubahan epistemologis. Yang semula disebut “keluhan” berubah menjadi “data sosial”. Yang sebelumnya tak tertulis dalam hukum, kini jadi dasar konvensi internasional. Sebagaimana dikatakan Paulo Freire, kesadaran kritis lahir ketika yang tertindas mulai bicara tentang dirinya sendiri. Maka pidato para pengemudi ojol, walau tanpa podium, adalah argumen.
Isi Konvensi ILO - Substansi Perubahan Dunia.
Draf Konvensi yang disetujui akan memuat hal-hal berikut;
1. Definisi formal pekerja digital sebagai pekerja yang sah.
2. Kewajiban negara menyediakan jaminan sosial dan BPJS.
3. Transparansi sistem algoritma, dan perlindungan terhadap diskriminasi digital.
4. Hak berserikat dan melakukan negosiasi kolektif.
5. Pembatasan jam kerja maksimal dan cuti.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/aktris-ida-royani-dan-ben-kasyafani.html
Noel selaku Wamenaker menyebut, “Ini bukan hanya pencapaian diplomatik, tetapi kemenangan epistemik dan sosial. Bahwa suara-suara yang selama ini dianggap pinggiran telah menjadi dasar perumusan hukum global.”
Langkah ke dalam negeri; PR Republik
Pengakuan internasional hanya berarti jika diikuti langkah legislasi nasional. Maka ada peta jalan yang perlu dibangun:
1. Regulasi tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal definisi “pekerja” tentang platform digital dan audit algoritma.
2. Pembentukan unit pengawasan digital (Waskerdig) di Kemnaker.
3. Kewajiban platform membayar iuran BPJS dan mengikuti standar K3 digital.
4. Pembuatan ruang aduan dan forum negosiasi antara pekerja dan perusahaan.
Negara lain sudah lebih dahulu melangkah. Spanyol dengan Ley Rider (2021). Portugal dan India menyisipkan pekerja platform dalam regulasi sosial. Uni Eropa sedang menyusun Platform Work Directive. Semoga, disesegerakan harap pekerja online.
Baca juga: https://www.inanews.id/2025/06/seorang-anak-terkena-ledakan-mercon.html
Kerja Sebagai Ibadah, Bukan Statistik.
Dalam Islam, kerja adalah bagian dari ibadah. Dalam Kristen, kerja adalah pelayanan dan kasih. Dalam falsafah Jawa, kerja adalah harmoni dengan semesta. Maka ketika pengemudi ojol tak dihormati secara hukum, bukan hanya keadilan sosial yang terluka, roh bangsa ikut tercabik.
Kerja bukan hanya tentang angka dalam aplikasi. Ia adalah keringat, waktu, pengorbanan, dan doa. Di setiap istirahat yang mereka ambil, ada harapan agar anak bisa sekolah, agar gas cukup sampai malam, agar algoritma tidak menghukum mereka diam-diam.
Visi Politik Baru Republik
Republik bukanlah institusi yang hanya mendengar suara elit. Ia hidup karena mendengar detak napas mereka yang bekerja tanpa panggung. Pekerja digital bukan ancaman, melainkan denyut baru bangsa.
Kini kita menghadapi pilihan historis, apakah Indonesia berani menulis ulang definisi pekerja dalam hukum nasional, atau tetap menyembunyikan jutaan buruh digital di balik kata “mitra”?. “Ketika kerja tidak dihormati, maka Republik kehilangan akarnya.” Hari ini, akar itu membawa helm, menyusuri jalan, dan berharap negara menyapanya kembali sebagai manusia, bukan hanya statistik.
Gatsu51
Stafsus Menaker RI
Social Header